Sunday, May 01, 2016

Reklamasi teluk jakarta

Selama satu dasawarsa terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi.
Belakangan, wacana tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan mulia menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota negara.
Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an.
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.
Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Litbang Kompas-
Litbang Kompas-
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Litbang Kompas-
Litbang Kompas-
Keputusan baru MA
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium 
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta. 

Litbang Kompas-
Pro reklamasi
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi.
Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat.
Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Litbang Kompas-
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?
Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. 
Sumber:

Reklamasi teluk jakarta

Selama satu dasawarsa terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi.
Belakangan, wacana tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan mulia menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota negara.
Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an.
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.
Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Litbang Kompas-
Litbang Kompas-
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Litbang Kompas-
Litbang Kompas-
Keputusan baru MA
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium 
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta. 

Litbang Kompas-
Pro reklamasi
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi.
Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat.
Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Litbang Kompas-
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?
Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. 

Penghapusan 3 in 1di jakarta

Mobil dan motor berjejal-jejal, berusaha saling mendahului satu sama lain di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa pagi dan sore. Semua pengendara ingin segera lepas dari kemacetan lalu lintas di Ibu Kota.
Salah satu biang kemacetan di jalan utama tersebut adalah mulai diuji cobanya penghapusan aturan 3 in 1 oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Uji coba mulai digelar pada Selasa 5 April 2016. Uji coba ini dilakukan 2 pekan.

Pada pagi hari, kepadatan kendaraan mulai terlihat dari arah Cawang menuju Semanggi. Antrean kendaraan sudah terlihat dari depan kantor Dirjen Pajak. Arus lalu lintas semakin padat saat adanya pertemuan kendaraan yang keluar dari Tol Dalam Kota dan kawasan SCBD dengan jalan umum.
Sementara itu, sore harinya, laju kendaraan di ruas Jalan Gatot Subroto dari arah Kuningan menuju Slipi menumpuk di depan Halte Komdak hingga ke Jembatan Semanggi.
Hal ini disebabkan pertemuan kendaraan dari arah kawasan SCBD yang berada di belakang Polda Metro dan kendaraan dari arah Kuningan. Kendaraan baik roda dua maupun empat, hanya dapat memacu kecepatan 0 sampai 5 kilometer per jam.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Risyapudin mengatakan, perbedaan arus lalu lintas saat 3 in 1 diberlakukan dan tidak, sangat terlihat. Biasanya, volume kendaraan tidak pernah sepadat saat ini.

"Biasanya lowong kok di sekitaran Polda Metro Jaya ini. Nah, sekarang lihat sendiri dari kantor pajak sudah padat," kata Risyapudin di kawasan SCBD, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa 5 April 2016.

Menurut perwira menengah ini, kepadatan kendaraan disebabkan pengendara memaksa melalui Jalan Gatot Subroto. Padahal, biasanya mereka melalui jalur lain.

Risyapudin mengatakan, volume kendaraan meningkat 3 kali lipat. Setidaknya peningkatan kendaraan yang cukup signifikan ini bisa dilihat di kawasan SCBD, Jalan Gatot Subroto.

Kepadatan lalu lintas terjadi di Jalan Sudirman, tepatnya di sekitar Patung Jenderal Sudirman. Kedua arah jalan tersebut sudah dipadati kendaraan. Arus lalu lintas dari arah Senayan menuju Bundaran HI, padat. 

"Ini sudah padat sekali. Kalau 3 in 1 enggak ada sampai padat seperti ini di Sudirman," kata Bripda Bagus.

Menurut dia, biasanya, kepadatan lalu lintas di sekitar Patung Sudirman baru terlihat pukul 10.00-14.00 WIB. Kepadatan lalu lintas ini terjadi selepas jam 3 in 1.

"Kalau sekarang pasti pengendara tidak memikirkan jam 3 in 1 jadi bisa langsung melintas saja jadi padat," Bagus menjelaskan.

Kapolri Terjebak Macet

Miska, seorang pengendara di Jalan Gatot Subroto mengatakan, kemacetan memang terlihat jelas setelah sistem 3 in 1 dihapuskan. Tapi, kemacetan ini tidak ubahnya saat sistem 3 in 1 selesai dilaksanakan.

"Memang macet sih, beda sama 3 in 1. Tapi ini juga malah makin macet kok dari pukul 09.00 WIB," kata Miska.

"Mending dihapus ajalah, enggak ngaruh juga," kata dia. ‬

Hal senada disampaikan Ridwan. Dia merasakan betul bedanya ada 3 in 1 dan tidak. Baginya, kemacetan memang bertambah hari ini saat waktu 3 in 1. Hanya saja, dia tidak perlu repot mencari penumpang untuk bisa melintasi jalur ini.

Tak hanya masyarakat biasa yang terjebak kemacetan karena 3 in 1. Pejabat pun ikut merasakannya. Suara raungan sirene motor patroli dan pengawalan sulit menembus kemacetan seperti di Jalan Gatot Subroto tepatnya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.  

Mobil pelat nomor RI 9 yang digunakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Arif Hidayat danKapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti pun kesulitan menembus kemacetan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga terkena imbasnya.


Bus Primadona Baru

Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan bus tambahan untuk mengantisipasi lonjakan kendaraan roda 4 saat penghapusan aturan 3 in 1. Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, pihaknya menyiapkan 127 bus tambahan transjakarta dan bus gratis dalam rangka uji coba penghapusan kebijakan ini.

Bus gratis yang berasal dari Transjakarta ini sangat diminati masyarakat. Hal ini terlihat di halte Dukuh Atas. Begitu bus menepi di halte, penumpang yang baru turun dari Stasiun Sudirman langsung menyerbu. Padahal di dalam bus sudah cukup banyak penumpang.

Bus ini melayani rute Harmoni-Bundaran Senayan. Selain itu, bus tersebut tidak melalui jalur bus Transjakarta. Bus melalui jalan umum dan berhenti di halte bus umum. 

Andri Yansyah mengatakan, bus-bus ini memang sengaja disiapkan untuk masyarakat yang berkantor di sekitar rute bus. Jumlahnya pun ditambah saat jam 3 in 1.

Uji Coba Pertama
Kepala Subdirektorat Bina dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto menyatakan, terjadi peningkatan volume kendaraan di beberapa jalan utama Ibu Kota di hari pertama uji coba ini.

"Ada peningkatan arus lalu lintas akses dan objek lokasi 3 in 1," kata Budiyanto.

Budi menyatakan, berdasar pantauan di lapangan, penumpukan kendaraan terjadi di Jalan Semanggi yang menjadi titik temu kendaraan dari Slipi dan Pancoran yang hendak ke kawasan Sudirman-Thamrin.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memperpanjang uji coba penghapusan jalur 3 in 1 yang semula hanya 1 minggu menjadi 2 pekan. Uji coba ini dilakukan mulai 5-8 April 2016. Kemudian dilanjutkan pada 11-13 April 2016.
Ahok melihat sendiri banyak mobil yang hanya berpenumpang satu masuk jalur 3 in 1 saat perjalanannya dari rumahnya di Pluit, Jakarta Utara menuju Jakarta Selatan.
Meski banyak mobil yang hanya diisi 1 orang, Ahok tak khawatir, karena yakin polisi dapat menanggulanginya. Dia pun bersikukuh untuk menghapus kebijakan itu

Ahok juga memunculkan kembali wacana penggunaan pelat nomor ganjil dan genap untuk mengurai kemacetan di ibu kota akibat penghapusan 3 in 1. 

"Kita mau hapus 3 in 1 karena nambah macet daerah pinggir, ganti dengan ERP (electronic road pricing), tapi karena ERP enggak bisa cepat, sebelumnya kita mau pakai ganjil genap (pelat kendaraan)," ujar Ahok di Balai Kota.

Ahok mengatakan, penerapan sistem ganjil genap masih menunggu hasil evaluasi penghapusan 3 in 1. Apabila terbukti bertambah macet, maka ganjil genap akan diterapkan. Namun, apabila bertambahnya volume kendaraan tak signifikan, maka solusi dari Pemprov adalah menambah bus sambil menunggu ERP terealisasi.

Pemprov juga akan berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya untuk mengatur sistem ganjil genap. Polda akan diminta tidak boleh menerima pergantian nomor pelat.

"Tapi solusi tetap ERP, tapi kalau daerah macet seperti Gatsu kita akan kasih bus dan terapkan ganjil genap," tutur dia.
 

Kawasan Pengendalian Lalu Lintas 3 in 1 adalah sebuah kebijakan yang membatasi mobil pribadi yang lewat pada ruas jalan tertentu yang berpenumpang 3 orang atau lebih. Pada 2012, kawasan 3 in 1 menjadi lima ruas jalan, yang ditetapkan berdasarkan Pergub No 110 tahun 2012 tentang tentang Kawasan Pengendalian Lalu Lintas.
Kawasan itu yaitu Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Jenderal Gatot Subroto-Jalan Gerbang Pemuda (Balai Sidang Senayan) sampai dengan persimpangan Jalan HR Rasuna Said-Jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalan umum bukan tol.

Aturan 3 in 1 hanya berlaku pukul 07.00 - 10.00 WIB dan pukul 16.30 - 19.00 WIB, pada hari kerja saja yaitu hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu, Minggu dan Hari Libur Nasional tidak berlaku.

Sumber: