Ulah suporter sepakbola Indonesia kembali membuat dahi
berkerenyit. Laga antara Persija Jakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno
menghadapi Sriwijaya FC memakan korban. Namun, insiden kali ini terbilang tak
lazim. Bukan perselisihan antara suporter, melainkan bentrokan antara pendukung
Persija Jakarta, The Jakmania, dengan pihak aparat keamanan.
Bentrokan
itu membuat beberapa anggota polisi mengalami luka-luka. Bahkan satu di
antaranya mengalami luka serius – dikabarkan Kompas, mata kiri Brigadir Hanafi
terpaksa diangkat.
Terlepas
adanya unsur balas dendam atas insiden sebelumnya yang menewaskan seorang
Jakmania remaja atau membalas aksi kepolisian menembakkan gas air mata (pasti
ada alasan mengapa polisi menembakkan gas air mata), yang dilakukan Jakmania
kali ini jelas tidak bisa dibenarkan. Bentuk kekerasan apapun, terlepas dari
siapa yang melakukannya, tak mungkin lepas dari hukum positif.
Namun bukan
soal alasan kekerasan itu yang ingin kami soroti.
Di samping aksi kekerasan di
atas, ada hal yang lebih menggelitik, yakni hukuman Komisi Disiplin Indonesia
Soccer Championship (ISC) terhadap insiden ini. Menjadi menggelitik karena
Komdis ISC seolah tidak belajar dari yang sudah dan pernah terjadi.
Kekerasan
suporter Indonesia tentu bukan kali ini saja terjadi. Terlalu banyak pula yang
menjadi korban akan aksi kekerasan dari bentrokan yang melibatkan suporter. Di
sinilah harusnya Komdis atau pengelola liga, yang meski mengatasnamakan
pengelola baru namun merupakan orang-orang yang sebelumnya juga terlibat, harus
bisa berbenah.
Persija
Jakarta, atas kejadian di GBK kemarin, ‘hanya’ mendapatkan hukuman denda 100
juta rupiah, dinyatakan kalah WO (0-3) dan larangan penggunaan atribut Jakmania
di pertandingan Persija Jakarta (kandang maupun tandang) hingga akhir ISC.
Disebut ‘hanya’ karena hukuman seperti inilah yang berpotensi kembali
menimbulkan masalah serupa di masa mendatang.
Larangan
penggunaan tanpa atribut takkan menimbulkan efek finansial yang terlalu besar
kepada klub, terutama jika dibandingkan dengan hukuman larangan tanpa penonton.
Sementara bagi suporter, apakah sekadar melepaskan atribut akan membuat
mereka-mereka yang datang ke stadion untuk berbuat onar kehilangan kesempatan?
Memangnya suporter tak beratribut tak mungkin berbuat kekerasan?
Di sinilah
terlihat Komdis tak benar-benar ingin menerapkan hukuman yang benar-benar
berefek jera.
Sedikit
mencontoh Inggris, setiap tragedi atau insiden pada pertandingan sepakbola
selalu disikapi secara serius. Bahkan bukan hanya oleh pengelola liga atau
Komisi Disiplin, melainkan oleh Negara yang memang bertugas menjamin keamanan
setiap masyarakatnya.
Inggris
pernah mengalami sejumlah tragedi di sepakbola yang memakan korban. Misalnya
saja Tragedi Heysel, Tragedi Hillsborough, dan Tragedi Valley Parade pada tahun
1980-an.
Yang paling
mendekati dengan kerusuhan GBK adalah Tragedi Heysel. Pada tragedi itu,
pendukung Liverpool menyerang pendukung Juventus pada final Liga Champions 1985
di Stadion Heysel. Akibatnya, 39 tewas serta 600 luka-luka.
Pemerintah
Inggris kemudian terjun langsung mengusut tuntas masalah tersebut. Bahkan tidak
hanya pelaku yang menyebabkan insiden, namun seluruh elemen sepakbola di
Inggris pun terkena dampaknya.
Pada tragedi
Heysel, meski kala itu hanya pendukung Liverpool yang melakukan kekerasan,
kesebelasan lain pun mendapatkan kerugian dari UEFA. UEFA tegas melarang
kesebelasan asal Inggris berlaga di kompetisi internasional selama lima tahun
dan tambahan tiga tahun untuk Liverpool.
Hal sama
juga terjadi ketika terjadi tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 pendukung
Liverpool pada 1989 silam. Pemerintah Inggris Raya menyelidiki penyebab insiden
tersebut terjadi dan menghasilkan laporan yang dikenal dengan nama Laporan
Taylor.
Laporan
itulah yang mendasari munculnya peraturan-peraturan yang secara tegas harus
dipatuhi seluruh pihak pengelola stadion di seantero Inggris seperti pemisah
antar tribun, adanya pemeriksaan keamanan, penghilangan tribun berdiri untuk
menghindari membludaknya penonton, antar tempat duduk memiliki jarak 78cm
hingga 80cm, hingga pengaturan lokasi antara penonton tuan rumah dan penonton
tim tamu.
Penyelidikan
pemerintah Inggris Raya pula, bukan oleh federasi sepakbola Inggris, apalagi
pengelola liga, yang mengusut tuntas tragedi Valley Parade (kebakaran stadion).
Langkah-langkah menyeluruh itulah yang akhirnya menyebabkan tak ada lagi
tragedi yang sampai memakan korban jiwa. Liga Primer Inggris bahkan saat ini
menjadi salah satu liga terbaik dunia.
Apa yang
dilakukan Inggris ini patut dicontoh. Pemerintah wajib hadir dan mengambil
tindakan serius ketika sebuah pertandingan sepakbola, juga olahraga lain,
sampai memakan korban. Apalagi The Jakmania kemarin sampai dengan beraninya
melawan aparat keamanan.
Para
suporter kesebelasan Indonesia, tidak hanya Jakmania, harus menyadari hakikat
pendukung kesebelasan. Suporter memiliki kata dasar “support”, yang artinya mendukung.
Sementara mendukung, sangat jauh bahkan bertolak belakang dengan kekerasan.
Klub
membutuhkan dukungan, teriakan dan nyanyian, serta pemasukan dari tiket
pertandingan atau merchandise jika memungkinkan. Jika seorang suporter
mencintai klub yang didukungnya, tentunya ia harus bisa menjaga sikap agar
setiap perlakuannya tidak merugikan pihak klub.
Namun
kembali lagi, apa yang terjadi di GBK harus menjadi pelajaran serius bagi
seluruh rakyat Indonesia, khususnya pemerintah. Menghentikan liga, bahkan melarang
penyelenggaraan sepakbola secara akbar (untuk menghindari turnamen-turnamen
berskala besar), bisa jadi solusi yang benar jika pengelola liga terlalu
memberikan toleransi pada setiap kekacauan yang mengancam nyawa banyak orang.
Perlu
kembali diingat, insiden yang sudah terjadi di sepakbola Indonesia sudah
terlalu sering berulang, bahkan untuk penyelenggaraan Indonesia Soccer
Championship yang dikelola oleh operator liga (yang katanya) baru. Karenanya
sepakbola Indonesia membutuhkan hukuman atau sikap yang lebih memberikan efek
jera, bukan sekadar denda atau larangan atribut, di mana hal ini bisa dilakukan
pemerintah agar sepakbola atau stadion tidak lagi menjadi tempat meregang
nyawa.
Sumber:
panditfootball.com
No comments:
Post a Comment