Sunday, April 03, 2016

Tentang aku

aku hanyalah seorang gadis introvert
Temanku hanyalah setumpuk buku dan kesunyian
Tempat ternyamanku adalah taman dan ruangan kosong
Aku sangat suka

Masih ada aku

Aku menangis dalam kegelapan malam yang berharap malam itu cepat berlalu dan berganti siang. Malam yang selalu membuatku larut dalam kepedihan dan kesedihan mendalam. Entah aku yang salah mengartikan malam sebagai derita. Ku ukir senyum palsuku ketika mentari tersenyum indah. Mentari yang selalu menghiasi dan menutupi kesedihan hatiku. Setiap langkahku terhenti melihat, mendengar, merasakan yang tak sepantasnya aku terima. Masa dimana aku belum mengerti menyelesaikan masalah. Langkahku yang serba salah membuat diriku memilih DIAM. DIAM mungkin itu yang terbaik. Tak kusangka pilihan ku itu membuat aku tak seperti diriku lagi. entah diriku yang seperti apa? Aku tak mengenal diriku! Aku ingin terlepas dari itu! Aku ingin keluar dari beban itu! Aku ingin berlari menjahui semua! Tetapi derita itu mengikatku sangat kuat. Begitu kuatnya, sampai aku tak tahan dan merderai setiap malam tiba.
Malam yang larut, aku terbangun dan melihat dia tertidur pulas. Kulihat senyum tipisnya yang polos. Kulihat wajahnya! Kumenangkap arti dibalik wajahnya yang polos itu. Dia menanggung beban itu! Beban yang tak kumengerti sampai detik ini. Beban yang membuat dia tak mengenali dirinya. Setiap pagi ia tersenyum kepadaku. Senyum apa itu? Senyum kebahagiaan atau kesedihan? Aku tak bisa membedakannya. Dia seperti aku. Dia tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Pada akhirnya aku melihat dalam kegelapan ia menangis. Rasanya ingin kutanyakan “MENGAPA ENGKAU MENANGIS IBU?” seolah mulut itu tekunci tak mampu terucap. Berulang kali setiap ia tidur ditaruhnya beban itu di sudut bibirnya yang mungil. “APA YANG ENGKAU RASAKAN IBU? APAKAH YANG KAURASA SAMA SEPERTI YANG AKU RASA?” Kubiarkan hari-hariku begitu saja, hari yang sama seperti dulu, hari yang akan selalu sama. Begitu juga dia. Kami sama-sama DIAM. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran dan kesedihan kami.
Dalam do’a ku, aku berharap aku dan dia bisa kuat. Aku ingin mengembalikan senyumnya. Senyum yang membuatku luluh dan melupakan masalah itu sejenak. Senyum yang membuat aku tegar dan yakin kalau aku bisa keluar dari derita ini. Ku pegang erat tangannya, ku pandangi wajahnya yang sayu dan aku berkata “IBU, MASIH ADA AKU!”

Ayah

Percakapan seorang anak dan ayahnya di pagi hari. Kala itu aku terbangun dari pagiku. Ku lihat sesosok pria duduk dan tersenyum kepada ku. Ku tatap wajahnya sembari tersenyum. Beberapa saat senyum itu berubah. Sorotan matanya kaku tak berdaya, ditahan semua beban dipelupuk mata kecilnya. Aku tak bisa menangkap arti tatapan itu. “ayah ada apa?” tanya ku penuh tanya. Pria itu hanya bisa diam, senyumnya memaksa seolah beban itu tak sanggup ditanggungnya. Beberapa saat ia menarik napas dan memejamkan mata, setelah itu kembali menatap. Aku masih tak mengerti. “apa yang kau rasakan ayah?” tanyaku lagi. “nak, apa kamu bahagia?” tanyanya setelah beberapa saat terdiam cukup lama.“mengapa ayah menanyakan itu? Tentu aku bahagia ayah!” jawabku dengan yakin. “ayah minta maaf!” katanya lagi yang membuat aku terus bertanya-tanya.“ada apa ayah? Mengapa engkau minta maaf?” seketika itu perasaan ku seolah tersayat-sayat, apakah ayahku tak bahagia dengan kehadiranku. Ada apa ini? Aku mulai gelisah tatapan itu berubah menjadi kesedihan. “nak maaf kan ayah yang tak bisa membahagiakan kamu, maaf ayah tak bisa memberikan semua apa yang kamu mau, karena keterbatasan ayah ini, nak!” Katanya yang membuat aku sedih. Kami terdiam sejenak, aku masih diam dalam pikiranku. Sesaat itu ia melanjutkan lagi perkaataannya seolah masih banyak lagi yang akan diungkapkannya. “nak, ayah bukan orang yang bisa membahagiakan kamu, kamu tumbuh dengan keterbatasan ilmu yang ayah miliki, kamu tumbuh dengan keterbatasan harta yang ayah miliki...” aku mulai meneteskan air mata. “ayah tak bisa seperti ayah yang lain, yang bisa memberi apa yang kamu inginkan.” Sesaat pria itu terdiam dengan air mata mengalir membasahi wajahnya yang mulai keriput karena termakan usia. Ia seolah terus menyalahkan apa yang ia lakukan untuk diriku. Aku menangis mendengar perkataan ayah seperti itu.“ayah...” panggilku lirih. “aku tak menyalahkan apa yang telah kau berikan kepadaku.” Airmata yang terus berlinang.“aku bersyukur mempunyai ayah seperti dirimu, janganlah kau tetap menyalahkan dirimu ini ayah, kau mampu membuat keterbatasan mu ini menjadi suatu kelebihan, aku bisa seperti ini berkat kerja kerasmu mendidikku ayah. Tak sedikitpun aku menyesal karena mu. Aku bangga padamu walau kau tak memiliki harta dan ilmu banyak, tapi kau mampu mennyekolahkanku sampai aku menjadi seorang sarjana, ayah.” ku pandangi wajahnya yang terus berlinang air mata. Kesedihan di wajahnya mulai sedikit berkurang. Ia tersenyum. “ayah bersyukur nak! Jangan sia-siakan kehidupan ini nak! Karena hidup mu ada di pundakmu” katanya sambil meletakan tangannya dibahuku. Aku seolah bangkit dari kesedihan. Ku hapus air mataku dan kubulatkan tekad untuk kuat dan bertahan. Menyongsong pagi dengan harapan dan impian. Ayah aku berjanji, dunia ini untuk mu. Aku tak akan menegecewakanmu. Apa yang aku raih adalah berkat didikanmu, aku tak sedikitpun mengukur dari segi harta dan ilmu yang kau miliki. Aku kuat karena genggaman tanganmu menguatkanku menghadapi dunia. Ayah tetaplah pegang tanganku sampai kapanpun. Aku mencintaimu ayah.