Sunday, March 20, 2016

Kalijodo, Riwayatmu dulu



Paras Kalijodo di awal tahun 1950-an, masih menawan. Pada masa itu, konon sempat Kalijodo menjadi tujuan wisata yang nyaman.
Jauh dari kesan buruk, apalagi dianggap sebagai sarang prostitusi dan markas berkumpulnya preman. Pada era tahun 50-an pula, Kalijodo pernah menjadi tempat yang dianggap romantis, layaknya tepi sungai Thames
di Inggris dan sisi Sungai Seine di Prancis, kata para sejarawan.
Nama Kalijodo muncul, karena banyak muda mudi yang bertemu di sepanjang sungai, hingga akhirnya berjodoh.
“Dulu disebut peh cun di Kali Angke, belum Kalijodo. Begitu terkenal, maka dinamailah Kalijodo, karena orang dapat jodoh di situ,” ungkap Budayawan Betawi Ridwan Saidi seperti dikutip Kompas.com.
Dalam tradisi China, Peh Cun adalah tradisi yang diselenggarakan setiap hari 100 penanggalan imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi Kali Angke.
Ridwan Saidi mengenang, masa itu setiap perahu akan berisi tiga sampai empat orang laki-laki atau perempuan. Di perahu tersebut, si laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi perempuan.
Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama tiong cu pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau.
Bagi perempuan yang ditaksir jika ia senang ia akan melemparkan kue sejenis ke arah laki-laki yang menyukainya. Dari sinilah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kalijodo karena menjadi kawasan untuk mencari jodoh.
Berbeda dengan saat ini, di masa itu Kali Angke masih jernih. Itulah mengapa walau tradisi ini dilakukan oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati Kali Angke untuk melihat perayaan tersebut.
Tradisi Peh Cun dan Imlek sendiri tidak lagi dirayakan setelah tahun 1958 setelah pemerintah mengeluarkan aturan tentang hal tersebut. Aturan tersebut dibuat oleh Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat diera 1953-1960.  Walikota masa itu, jabatannya setara dengan gubernur di masa kini.


Kunarso Suro, sudah 48 tahun menetap di Kalijodo. Ia masih ingat betul, bagaimana Kalijodo ramai dikunjungi warga Jakarta, yang hendak berwisata.
"Saya datang ke Kalijodo tahun 1968. Tahun 50-an sungainya masih bersih, banyak yang datang ke Kalijodo untuk minum teh dan bernyanyi. Ada juga lomba balap perahu di Kalijodo," katanya.
"Orang kalau mau nonton harus bayar tiket masuk. Tapi lama kelamaan makin banyak warung, lalu mulai muncul prostitusi."
Wajah Kalijodo mulai berubah di tahun 1970-an, kata si saksi hidup ini. Kalijodo berubah menjadi tempat untuk berjudi dan prostitusi.

Dan aktivitas prostitusi di Kalijodo semakin marak, setelah pemerintah menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada 1999.





Kawasan Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara, adalah kawasan pelacuran kumuh yang sudah berdiri lebih dari setengah abad.

Meski tak setenar Gang Dolly, tempat prostitusi ini adalah yang tertua di Jakarta dan tetap dibiarkan hidup hingga kini. Di sana, ada ratusan bangunan khusus untuk bisnis esek-esek.
Kalijodo diapit oleh Kali Angke dan Sungai Banjir Kanal yang merupakan sungai buatan untuk mengurangi banjir di wilayah Jakarta. Pada 1950-an, tempat ini masih dikenal sebagai kawasan pinggir kali. Tempat orang mencari pasangan. 

Bahkan sampai abad ke-21, Kalijodo selain menjadi tempat perjudian ilegal, juga sebagai tempat prostitusi liar. 

Kawasan ini dikenal sebagai tempat prostitusi murah, tapi bergaya mewah. Para wanitanya pun mendapat gaji per bulan oleh muncikarinya.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membongkar pusat prostitusi yang terletak di antara wilayah Jakarta Barat dan Utara itu. 

Referensi:

No comments:

Post a Comment